Nama Avianti Armand, sebetulnya belum sekali ini kubaca pada halaman sastra di Kompas Minggu. Tahun lalu, aku ingat dia yang menjadi juara Cerpen Terbaik Kompas 2010.
Aku suka cerpen-cerpen karangan Avianti. Jadi ingat, ia juga menerbitkan buku puisi. Tulisan Intan Paramadhita di Majalah Tempo cukup menarik minatku untuk membaca puisi Arvianti. Makanya sengaja kusimpan di blog ini.
Menghapus Sebagai Mengingat
PEREMPUAN YANG DIHAPUS NAMANYA
Penulis: Avianti Armand
Penerbit: a publication, 2010
LEWAT Perempuan yang Dihapus Namanya, salah satu buku puisi Indonesia yang paling mengusik perhatian saya akhir-akhir ini, Avianti Armand merekonstruksi kisah-kisah perempuan dalam Perjanjian Lama. Saya memutuskan untuk menempatkan Avianti sebagai seorang pembaca. Dalam pengantarnya, Avianti sendiri melihat karyanya sebagai hasil dari proses “membaca lagi, menafsirkan lagi, merekonstruksi dunia dan kata-kata yang tersimpan dalam kitab.”
Maka, mulailah perjalanan saya, menyelami sekumpulan puisi naratif tentang nama yang tak asing: Hawa, Tamar, Batsyeba, Jezebel. Saya sepakat dengan Avianti bahwa perempuan-perempuan dalam Perjanjian Lama sangat menarik, sebab mereka memang-bila boleh saya sederhanakan-brutal. Sebagian dari mereka terseret dalam kehancuran dan pertumpahan darah, bahkan mendirikan singgasana di atas genangannya.
Sebelum mereka, ada perempuan penggoda yang menurut legenda diciptakan lebih dulu dari Hawa dan berkhianat. Ia disebut dengan “nama-nama terlarang”, Lilith salah satunya. Ia ditemukan dalam gulungan dokumen Laut Mati, tapi tak ada jejak kehadirannya dalam Kitab. Nama Lilith muncul satu kali dalam Kitab Yesaya, tapi tak jelas apakah dia perempuan atau binatang malam.
Upaya menghilangkan Lilith tak pernah berhasil, sebab menghapus adalah juga menyisakan sesuatu. Inilah yang disebut Avianti sebagai lubang, yang terjadi “ketika mereka menggosok lembar-lembar papyrus tua untuk menghapus nama perempuan itu dari Kitab…” Lilith berada di ruang-ruang yang bocor, dan kita selalu menemukan jejak namanya dalam narasi tentang Hawa, Tamar, Batsyeba, Jezebel, atau perempuan lainnya.
Melalui pembacaan ulangnya, Avianti membagi ruang-ruang tersembunyi itu dengan kita; lubang kembali mempertemukan kita dengan perempuan yang dihapus namanya. Di sana, kita dihadapkan pada Hawa yang, setelah memakan buah, mencelupkan diri tanpa takut dalam pengetahuan (kejatuhan?)-nya; Tamar yang dikira korban namun berkata, “Aku adalah pedang”; Batsyeba yang telah ambil bagian atas apa pun yang kita imajinasikan -“kekejian” atau “rasa bersalah”.
Jejak Lilith begitu tegas pada cerita Jezebel. Maka dibutuhkan upaya penghapusan yang lebih keras, tanpa ampun. Tak terpisahkan dari kerumitan hubungan agama dan politik, tubuh Jezebel si perempuan (asing) pemuja Baal adalah sumber kebencian. Puisi “Jezebel” diawali dengan lonceng kematian yang memanggil-manggil nama Jezebel, pepat oleh hasrat meniadakan jejak tubuh perempuan khianat. Avianti menggambarkan akhir hayat Jezebel sebagai berikut: Genap nubuat di luar Yizreel/ “Dicincang anjing daging Jezebel/ tinggal kepala dan kedua kaki/untuk santapan malam nanti.”
Kita merasakan teror yang tak putus-nafsu membunuh yang tak habis-habis-ketika bait di atas disandingkan, seolah tanpa patahan, dengan kutipan dari Kitab Raja-Raja: “-maka mayat Jezebel akan terhampar/ di kebun di luar Yizreel seperti pupuk/ di ladang, sehingga tidak ada orang yang/ dapat berkata: Inilah Jezebel.” Namun tubuh yang dihilangkan tak menjamin penutup yang koheren. Puisi Avianti menunjukkan bahwa lubang yang dihuni Lilith, penanda “yang bukan ilahi melainkan birahi”, tetap menganga, bocor di mana-mana.
Buku Avianti dapat kita sejajarkan dengan upaya para feminis Barat menelaah arketipe perempuan dalam kitab suci demi memahami bagaimana politik gender beroperasi dalam sejarah. Namun praktek pembacaan tak bisa diseragamkan, sebab ia ditentukan oleh kepentingan, ruang, dan waktu yang spesifik. Pertanyaan selanjutnya: bagaimana proyek pembacaan ulang ini kita tempatkan di Indonesia, hari ini? Satu kemungkinan melihatnya adalah bahwa saat fundamentalisme agama dan politik identitas menguat, proyek Avianti mengingatkan kita akan pentingnya mengkritik teks-teks fundamental dan membaca ulang apa yang kita bayangkan utuh, termasuk posisi kita sendiri.
Intan Paramaditha, penulis
diambil dari laman Majalah Tempo. Silahkan klik tautan ini.