Author: nyonyabuku

married with books, I guess :D

101 Hari melaksanakan pesan Ray Bradbury

Untuk menulis, seseorang butuh ‘bahan bakar’. Bisa pengalaman pribadi, bisa dari orang lain. Pernah Ray Bradbury, penulis buku Fahrenheit 451 itu berpesan kepada para calon penulis. “Silahkan mengasup satu puisi, satu cerpen dan satu esai tentang apa saja, sebelum tidur. Lakukan selama 100 hari.”

ray-bradbury-on-creativity-famous-quotes

Saya tidak pernah tahu, apakah ada yang menjalankan program ini sebelumnya, dan bagaimana hasilnya. Yang jelas, Bradbury tak sekadar memberi resep bohong. Dia menghabiskan 10 tahun di perpustakaan -lantaran tak punya uang untuk meneruskan kuliah- membaca banyak buku, dan “lulus” dari tempat itu, pada usianya ke 28. Jadi resep 100 hari-nya jelas bukan pepesan kosong.

Jadi, bagaimana jika saya melakukannya selama 101 hari? Kenapa 101 hari, ya biar catchy aja. Haha.

Plus, melihat foto dan lukisan juga setiap hari demi melatih kepekaan visual, seperti kata Jessica Huwae, penulis yang baru saja menerbitkan Galila.

Project ini sudah saya mulai sepekan lalu. Dalam sehari, saya membaca puisi, cerpen dan esai. Tadinya sudah diprogram, baca apa saja. Agar tak habis waktu mencari bahan dan terdistraksi dengan maraknya informasi di jagat maya.

Hanya saja, dengan kejadian akhir-akhir ini, seperti kematian Sue Townsend, penulis remaja asal Inggris yang punya sense politik kuat, serta meninggalnya penulis jenius Amerika Latin Gabo- Gabriel Garcia Marquez, saya membaca banyak hal seputar kematian mereka, serta orang-orang yang berkelindan dengan karya keduanya. Jadilah program tak berjalan seharusnya.

Satu yang disesalkan, belum sempat terdokumentasikan. Jadi saya menggunakan blog ini untuk menyimpan kepingan prosesnya. Sekaligus membuat blog ini hidup kembali.

Semangat!

Fantasy Fiesta

Setelah Harry Potter dan Lord of The Ring telah lama berlalu, aku enggak pernah lagi pegang buku fantasi. Sudah bertahun-tahun. Sampai Sabtu kemarin, di Warung Kopi Proklamasi yang cozy itu, seorang teman baru memberikan buku: Fantasy Fiesta 2010: Antologi Cerita Fantasi Terbaik 2010.

Baru kubaca hari ini, dan VOILA!! Penulis kisah fantasi kita tak kalah jago bercerita!

Tulisan pertama, karya Jaladara, bukan orang baru-baru amat di dunia kepenulisan. Ide ceritanya lekat dengan kisah-kisah zaman dulu ketika manusia dan binatang bisa berkomunikasi. Jaladara menuliskan serigala yang memperingatkan manusia untuk segera menyelamatkan diri dari kampung mereka. Namun manusia sempat salah sangka. Dikira mereka, serigala hendak mencelakaan warga — spoiler(!!)

Kisah ketiga, Candu Aksara. Tentang seseorang yang hobi makan buku dan koran. Idenya segar, agak witty juga, tapi jadi bikin aku mikir, kategori fantasinya dimana ya? Karena terasa seperti cerpen. But, the story is good. Dan jadi juara pertama Fantasy Fiesta 2010.

Kisah keempat, Boxinite. Feel kisah ini emang masa depan yang melompat jauh, tentang petarung dan ganjaran energi dan betina. Ya seperti jagoan dalam video game yang mendapatkan bonus uang ataupun nyawa jika sukses mengalahkan lawan di level tertentu.

Lainnya, masih ada 17 cerita yang mengusung ide dan warna kisah beragam. Menurutku sangat pantas dibaca. Sebab, ‘rasa impor’ kisah fantasi tidak lagi kentara ada disini. Asyik, menghibur dan dituturkan mengalir. Not bad lah ya.

 

 

Pinjam meminjam buku digital

eBookFlingDi Amerika Serikat, jumlah pembaca buku digital rupanya terus mengalami kenaikan. Dan bukan rahasia lagi, banyak pengguna Kindle yang dibesut Amazon dan Nook (dari  Barnes&Nobel) yang saling mengunduh cerita.  Membaca kondisi tersebut, Bookswim sekalian saja menyediakan jasa pinjam meminjam buku digital melalui situs baru mereka, ebookfling.com.

Pengguna layanan ini terlebih dulu diminta mendaftkar diri. Lalu menuliskan daftar e-book miliknya yang bisa dipinjamkan ke orang lain. Jika ada anggota lain yang meminjam, maka si pemberi pinjaman ebook  akan mendapatkan 1 poin. Nah, poin itu bisa digunakan untuk meminjam ebook anggota ebookfling lainnya. Kalau belum punya poin, cukup bayar US1.99 ke ebookfling.

Karena formatnya digital, begitu kita pinjam e-book, maka konten dikirim ke akun kita di ebookfling, lalu bisa diunduh ke desktop,  pc mac, kindle, nook, ponsel pintar iPhone, Blackberry, atau  ponsel -ponsel android. Setelah 14 hari, dengan sendirinya file buku akan hilang. Hohohoho… seru ya?

Ebookfling didirikan oleh bookswim, penyedia jasa peminjaman buku fisik yang dikirim ke rumah. 😀

Btw, aku jadi ingat,  staf Papataka.com, situs penjual e-book di Indonesia, pernah bilang, bahwa satu buku digital yang dibeli dari mereka bisa di-sharing ke 5 device. Jadi sebetulnya, bisa juga patungan buat beli, atau ya buka semacam layanan pinjam buku digital. Hm, sayang pengguna e-reader di Indonesia masih sedikit ya..

Perempuan Perempuan Avianti Armand

Nama Avianti Armand, sebetulnya belum sekali ini kubaca pada halaman sastra di Kompas Minggu. Tahun lalu, aku ingat dia yang menjadi juara Cerpen Terbaik Kompas 2010.

Aku suka cerpen-cerpen karangan Avianti. Jadi ingat,  ia juga menerbitkan buku puisi. Tulisan Intan Paramadhita di Majalah Tempo cukup menarik minatku untuk membaca puisi Arvianti.  Makanya sengaja kusimpan di blog ini.

Menghapus Sebagai Mengingat

PEREMPUAN YANG DIHAPUS NAMANYA
Penulis: Avianti Armand
Penerbit: a publication, 2010

LEWAT Perempuan yang Dihapus Namanya, salah satu buku puisi Indonesia yang paling mengusik perhatian saya akhir-akhir ini, Avianti Armand merekonstruksi kisah-kisah perempuan dalam Perjanjian Lama. Saya memutuskan untuk menempatkan Avianti sebagai seorang pembaca. Dalam pengantarnya, Avianti sendiri melihat karyanya sebagai hasil dari proses “membaca lagi, menafsirkan lagi, merekonstruksi dunia dan kata-kata yang tersimpan dalam kitab.”

Maka, mulailah perjalanan saya, menyelami sekumpulan puisi naratif tentang nama yang tak asing: Hawa, Tamar, Batsyeba, Jezebel. Saya sepakat dengan Avianti bahwa perempuan-perempuan dalam Perjanjian Lama sangat menarik, sebab mereka memang-bila boleh saya sederhanakan-brutal. Sebagian dari mereka terseret dalam kehancuran dan pertumpahan darah, bahkan mendirikan singgasana di atas genangannya.

Sebelum mereka, ada perempuan penggoda yang menurut legenda diciptakan lebih dulu dari Hawa dan berkhianat. Ia disebut dengan “nama-nama terlarang”, Lilith salah satunya. Ia ditemukan dalam gulungan dokumen Laut Mati, tapi tak ada jejak kehadirannya dalam Kitab. Nama Lilith muncul satu kali dalam Kitab Yesaya, tapi tak jelas apakah dia perempuan atau binatang malam.

Upaya menghilangkan Lilith tak pernah berhasil, sebab menghapus adalah juga menyisakan sesuatu. Inilah yang disebut Avianti sebagai lubang, yang terjadi “ketika mereka menggosok lembar-lembar papyrus tua untuk menghapus nama perempuan itu dari Kitab…” Lilith berada di ruang-ruang yang bocor, dan kita selalu menemukan jejak namanya dalam narasi tentang Hawa, Tamar, Batsyeba, Jezebel, atau perempuan lainnya.

Melalui pembacaan ulangnya, Avianti membagi ruang-ruang tersembunyi itu dengan kita; lubang kembali mempertemukan kita dengan perempuan yang dihapus namanya. Di sana, kita dihadapkan pada Hawa yang, setelah memakan buah, mencelupkan diri tanpa takut dalam pengetahuan (kejatuhan?)-nya; Tamar yang dikira korban namun berkata, “Aku adalah pedang”; Batsyeba yang telah ambil bagian atas apa pun yang kita imajinasikan -“kekejian” atau “rasa bersalah”.

Jejak Lilith begitu tegas pada cerita Jezebel. Maka dibutuhkan upaya penghapusan yang lebih keras, tanpa ampun. Tak terpisahkan dari kerumitan hubungan agama dan politik, tubuh Jezebel si perempuan (asing) pemuja Baal adalah sumber kebencian. Puisi “Jezebel” diawali dengan lonceng kematian yang memanggil-manggil nama Jezebel, pepat oleh hasrat meniadakan jejak tubuh perempuan khianat. Avianti menggambarkan akhir hayat Jezebel sebagai berikut: Genap nubuat di luar Yizreel/ “Dicincang anjing daging Jezebel/ tinggal kepala dan kedua kaki/untuk santapan malam nanti.”

Kita merasakan teror yang tak putus-nafsu membunuh yang tak habis-habis-ketika bait di atas disandingkan, seolah tanpa patahan, dengan kutipan dari Kitab Raja-Raja: “-maka mayat Jezebel akan terhampar/ di kebun di luar Yizreel seperti pupuk/ di ladang, sehingga tidak ada orang yang/ dapat berkata: Inilah Jezebel.” Namun tubuh yang dihilangkan tak menjamin penutup yang koheren. Puisi Avianti menunjukkan bahwa lubang yang dihuni Lilith, penanda “yang bukan ilahi melainkan birahi”, tetap menganga, bocor di mana-mana.

Buku Avianti dapat kita sejajarkan dengan upaya para feminis Barat menelaah arketipe perempuan dalam kitab suci demi memahami bagaimana politik gender beroperasi dalam sejarah. Namun praktek pembacaan tak bisa diseragamkan, sebab ia ditentukan oleh kepentingan, ruang, dan waktu yang spesifik. Pertanyaan selanjutnya: bagaimana proyek pembacaan ulang ini kita tempatkan di Indonesia, hari ini? Satu kemungkinan melihatnya adalah bahwa saat fundamentalisme agama dan politik identitas menguat, proyek Avianti mengingatkan kita akan pentingnya mengkritik teks-teks fundamental dan membaca ulang apa yang kita bayangkan utuh, termasuk posisi kita sendiri.

Intan Paramaditha, penulis

diambil dari laman Majalah Tempo. Silahkan klik tautan ini.